Seminar Nasional MKD Harus Lahirkan Output Pengaturan Lembaga Etik
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Adies Kadir saat memebrikan kata seambuta pada Seminar Nasional MKD bertema “Peran Lembaga Etik dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Public”.Foto :Jayadi/Rni
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Adies Kadir menginginkan adanya satu output atau aturan yang mengatur agar lembaga etik berperan pada lembaga dan institusi di Republik Indonesia. Menurutnya, agar seluruh lembaga etik dapat berperan lebih baik, maka hal-hal pengaturan di dalamnya perlu segera dirumuskan ke dalam suatu peraturan undangan, agar semuanya dapat berjalan di koridornya masing-masing.
“Jadi kita ingin ada suatu output yang bisa dijadikan satu aturan di dalam suatu peraturan perundang-undangan, tentang bagaimana lembaga etik di lembaga-lembaga negara entah itu di eksekutif dan legislatif ke depan,” katanya usai membuka Seminar Nasional MKD bertema “Peran Lembaga Etik dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Public” di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (08/10/2018).
Adies menjelaskan, lembaga etik sendiri terbagi menjadi dua, yaitu lembaga etik internal dan eksternal. Adies menambahkan, aturan yang ada saat ini hanya mengatur lembaga etik eksternal, yaitu Komisi Yudisial, Ombudsman RI, dan Kompolnas. Tetapi untuk aturan lembaga etik internal seperti Mahkamah Kehormatan Hakim di Mahkamah Agung, Komite Dewan Etik di KPK dan juga Mahkamah Kehormatan Dewan di DPR RI itu belum ada aturannya.
Sama halnya, dengan belum adanya lembaga etik di beberapa instansi Kementerian atau Lembaga, yang menurut legislator Partai Golkar itu, diperlukan untuk mengawasi etika pejabat publik yang ada di instansi tersebut.
“Di kementerian belum kita lihat ada lembaga etik. Siapa yang mengawasi? Memang DPR pengawas, tetapi kita tidak bisa menindak mereka. Jadi hal-hal inilah memang yang harus dicarikan persamaan persepsi terkait pengawasan internal dan eksternal di semua lembaga,” ungkapnya.
Terkait apakah etika Anggota DPR RI saat ini sudah cukup baik atau belum, Adies sendiri mengatakan bahwa karakteristik Bangsa Indonesia itu berpedoman pada Pancasila, UUD 1945, dan juga kepada budaya Indonesia. Indonesia memiliki budaya sopan santun, dimana di dalamnya terdapat tata cara berbicara dan tata krama bersikap.
“Semuanya harus sesuai pada tempatnya. Itu semua harus juga dipertimbangkan untuk menjadi bagaimana kita pejabat publik ini mempunyai etika yang baik,” tandas legislator dapil Jawa Timur itu.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara yang juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashidqie yang menjadi pakar di diskusi panel sesi pertama dengan tema
“Menyamakan Persepsi Tentang Etika Pejabat Publik” mengatakan, perlu adanya pemahaman antara pejabat publik dengan pejabat penyelenggara negara.
Jimly menjelaskan, pejabat publik adalah pejabat yang menjalankan fungsi yang berkaitan dengan kepentingan umum. Ia memberi contoh, pejabat publik itu termasuk juga advokat dan notaris di dalamnya. Meskipun keduanya adalah swasta, namun karena jabatan mereka menyangkut kepentingan umum, maka mereka juga disebut sebagai pejabat publik.
“Jadi saya rasa dibedakan 2 hal, pejabat penyelenggara negara dalam arti luas, dengan pejabat publik dalam arti yang lebih luas. Dan pejabat penyelenggara negara itu pejabat publik juga,” katanya sembari berharap seminar ini dapat berhasil menyatukan persepsi tentang pentingnya menata dan membangun sistem etika berbangsa dan bernegara.
“Dan ujungnya kita harapkan itu diadopsi jadi kebijakan resmi melalui UU. Dan mudah-mudahan pihak pemerintah juga bisa diyakinkan untuk mendapatkan kesadaran yang sama, bahwa sistem etika ini sama pentingnya dengan sistem hukum,” tutupnya. (ndy/sf)